2. Latar Belakang Adat Dalihan Natolu
2.1. Masa Kelabu Batak Toba
Sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab.I.5 bahwa Mutia raja, gelar Raja Malim/Raja Uti I, dalam kunjungan dua harinya ke Toba, telah memotivasi/memberi pengarahan kepada Si Raja Batak, agar mempersiapkan berdirinya kembali kerajaan Batak. Sehubungan dengan maksud itu, haruslah dipikirkan, bagaimana mengadakan rakyatnya, sebab tidaklah mungkin mendirikan Negara tanpa rakyat, maka dimunculkanlah pesan estafet dari generasi ke generasi, yaitu pesan yang dituangkan dalam pantun (umpasa) berikut :
Laklak diatas pintu, singkoru ginolom golom.
Maranak ma ho sampulu pitu, marboru sampulu onom;
Yang berarti ; beranak banyaklah engkau.
Mulai dari Si Raja Batak sampai dengan generasi ketujuh keturunannya, tidak ada berita tentang perkawinan orang Batak Toba. (Keturunan Si Raja Batak) yang resmi secara adat; yang terdengar, hanyalah cerita mitos, yang pada dasarnya muncul dari dua pihak, yaitu :
- Dari pihak perempuan, muncul cerita mitos yang menyebutkan tentang anak gadisnya yang menjadi keramat (Sombaon); kawin dengan Hantu, kawin dengan Ular dan beberapa cerita Mitos lainnya yang serupa.
- Dari pihak laki-laki, muncul cerita mitos tentang bidadari yang turun dari kayangan, mandi-mandi di kolam Pusuk Buhit; karena selendangnya hilang, tidak bisa terbang kembali ke kayangan, lalu menjadi istri orang yang menemukan selendangnya itu. Ada pula cerita mitos tentang perempuan yang direbut dari mulut Naga berkepala tujuh; Perempuan kerdil yang tetutup kuali, dan beberapa cerita mitos lainnya yang serupa. Mitologi Nakhoda Raja Simbolon dan mitologi Datu Pejel Narasaon, sama persis dengan mitologi Si Jokotarup di Jawa, sama-sama berbau menghilangkan jejak.
Jumlah manusia di Toba selama tujuh generasi itu, tentulah belum seberapa, dan mereka semua adalah keturunan Si Raja Batak, tidak ada yang lain; patut dipertanyakan siapakah sebenarnya yang menjadi suami para wanita Batak waktu itu, dan siapakah sebenarnya yang menjadi isteri para pria Batak itu. Kalau kita teliti cerita mitos ini dengan seksama, maka kita akan sampai pada kesimpulan, bahwa cerita-cerita mitos ini, hanyalah dalam rangka menghilangkan jejak, namun yang terjadi sebenarnya pada masa itu, adalah penculikan; maka untuk selanjutnya, kita sebutlah zaman itu sebagai zaman penculikan.
Demikianlah manusia itu dijadikan oleh sang penciptaNya, selalu berpikir dan berusaha mengatasi masalah yang dihadapinya. Karena takut diculik orang, dipingitlah anak gadisnya; hanya kaum ibu yang boleh pergi ke Pekan berbelanja, itupun haruslah berjalan ramai-ramai dan harus ada laki-laki pengawal dengan senajata ditangan; sementara para anak gadis, tidak diperbolehkan keluar dari perkampungan. Semua pekerjaan diluar kampung, haruslah dikerjakan beramai-ramai disertai pengawalan dari kaum pria; maka bermula dari kebiasaan itulah munculnya istilah Marsiadapari yang berarti gotong-royong. Selanjutnya kita sebutlah zaman ini sebagai zaman gadis pingitan.
Konsekwensi logis (akibat) dari zaman gadis pingitan itu, sulitlah bagi kaum pria untuk mendapatkan pasangan hidupnya; maka, muncullah para pemberani (jolma nabegu), yang melakukan penggeledahan; mereka ini disebut Sitompas huta. Pada masa itu, sering terjadi perang antar kampung, yang membuka peluang bagi para Pendekar/Pemberani menawarkan jasa, untuk mendapatkan wanita dan harta. Terjadinya perang kampung dan munculnya sitompas huta itulah yang mendorong orang Batak Toba, membuat benteng sekeliling kampung dan menanami bambu duri demi pertahanan/keamanan mereka. Seperti diterangkan diatas, tindakan main geledah itu, hanya dapat dilakukan oleh para ksatria pembarani, tidak berlaku umum, maka pria Batak Toba umumnya, tetap saja mengalami kesulitan untuk mendapatkan pasangan hidupnya. Mencari solusi dalam mengatasi kesulitan itu, secara bertahap sesuai dengan perkembangan zaman, muncullah beberapa pemikiran dan tindakan, antara lain :
Konsekwensi logis (akibat) dari zaman gadis pingitan itu, sulitlah bagi kaum pria untuk mendapatkan pasangan hidupnya; maka, muncullah para pemberani (jolma nabegu), yang melakukan penggeledahan; mereka ini disebut Sitompas huta. Pada masa itu, sering terjadi perang antar kampung, yang membuka peluang bagi para Pendekar/Pemberani menawarkan jasa, untuk mendapatkan wanita dan harta. Terjadinya perang kampung dan munculnya sitompas huta itulah yang mendorong orang Batak Toba, membuat benteng sekeliling kampung dan menanami bambu duri demi pertahanan/keamanan mereka. Seperti diterangkan diatas, tindakan main geledah itu, hanya dapat dilakukan oleh para ksatria pembarani, tidak berlaku umum, maka pria Batak Toba umumnya, tetap saja mengalami kesulitan untuk mendapatkan pasangan hidupnya. Mencari solusi dalam mengatasi kesulitan itu, secara bertahap sesuai dengan perkembangan zaman, muncullah beberapa pemikiran dan tindakan, antara lain :
- Munculnya istilah Talimagulang yang dapat diartikan sebagai tali penolong, dimana seorang janda, adalah hak dari saudara suaminya. Tiga bulan setelah perempuan itu menjanda, datanglah saudara suaminya menyangkutkan ikat pinggang pada pintu rumah si Janda, (dalam istilah Batak, disebut: Manangkothon Hohos), itulah sebagai pertanda menunjukkkan maksud hatinya. Jika si janda bersedia menerima, maka dibiarkannya ikat pinggang itu tersangkut dipintu rumahnya sampai pagi hari; jika tidak suka, diambilnyalah ikat pinggang itu serta dicampakkannya ke halaman, biar semua yang melihat tahu, bahwa dia menolaknya; dan bila terjadi demikian, terbukalah kesempatan bagi saudara yang lainnya.
- Terjadi perkawinan semarga, asalkan berlainan kampung halamannya, dan disebutlah kampung asal si wanita itu menjadi marganya.
- Digandrungi oranglah perkawinan Family yang disebut Marboru Ni Tulang.
- Terjadilah pertunangan dibawah umur, yang disebut Paorohon, bahkan kadang-kadang, masih dalam kandungan pun, sudah diajukan pesanan (dibooking kata orang sekarang).
- Muncullah informan/perantara yang berfungsi mencari serta menjembatani kesepakatan antara pihak pria dan pihak wanita, mereka inilah yang dikemudian disebut Domu domu.
Demikianlah situasi dan kondisi yang dialami orang Batak Toba, selama tujuh generasi mulai dari Si Raja Batak, tidak ada aturan hidup yang harus dipatuhi maupun yang dapat di pedomani; setiap orang berbuat menurut kehendaknya sendiri-sendiri. Situasi dan kondisi yang demikian itu muncul karena tidak ada pemerintahan yang membuat aturan. Selanjutnya kita sebutlah zaman ini sebagai Masa Kelabu bagi masyarakat Batak Toba.
Pria Batak Toba |
Pejuang Batak Toba |
Wanita Batak Toba |
2.2. Terbentuknya Masyarakat Dalihan Natolu.
Pada masa pemerintahan Sisingamangaraja I, berita tentang masa kelabu itu, sampailah kepada Raja Malim/Raja Uti VII, yang bermukim di Pulau Munsung Babi, maka dianjurkannya kepada Raja Sisingamangaraja I, supaya mengundang para pemuka masyarakat Batak Toba, berkumpul bermusyawarah, meletakkan aturan hidup masyarakat yang dapat memberikan kebaikan bagi seluruh keluarga keturunan si Raja Batak. Sesuai dengan anjuran tersebut, maka pada sekitar akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16, untuk pertama kalinya, diadakanlah sidang permusyawaratan (Loloan Bolon) di Bakkara; para peserta sidang, disebut Ompu Raja Ijolo (Raja napinajolo) yang berarti para pemuka masyarakat. Dalam persidangan tersebut, ditetapkanlah sistem kekerabatan/kekeluargaan; dan diterapkanlah penggunaan /pemakaian marga yang menjadi dasar pengelompokan masyarakat Batak Toba.
Kelompok semarga, disebut Dongan Tubu; Kelompok pemberi istri disebut Hulahula; Kelompok penerima istri, disebut Boru.
Seiring dengan pengelompokan tersebut, dijadikanlah tungku nan tiga (Dalihan na tolu) sebagai simbol, yang menggambarkan prinsip kerjasama (Prakmatika) ketiga komponen masyarakat itu; maka, masyarakat Batak Toba itupun, disebutlah Masyarakat Dalihan Natolu. (Bandingkan: Masyarakat Marhaen dan masyarakat Madani). Dalihan Natolu, didirikan berdasarkan kesetaraan, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, dan bertang gung jawab sesuai dengan fungsi kelompoknya masing-masing.
Pada persidangan para pemuka masyarakat (Ompu Raja Ijolo) di Bakkara, sekitar akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16, di rumuskanlah pandangan hidup yang menjadi sumber hukum terhadap aturan-aturan selanjutnya, yang dalam bahasa Batak disebut Ruhut ni Adat. Pandangan hidup tersebut, dituangkan dalam Pantun (umpasa) berikut :
Kelompok semarga, disebut Dongan Tubu; Kelompok pemberi istri disebut Hulahula; Kelompok penerima istri, disebut Boru.
Seiring dengan pengelompokan tersebut, dijadikanlah tungku nan tiga (Dalihan na tolu) sebagai simbol, yang menggambarkan prinsip kerjasama (Prakmatika) ketiga komponen masyarakat itu; maka, masyarakat Batak Toba itupun, disebutlah Masyarakat Dalihan Natolu. (Bandingkan: Masyarakat Marhaen dan masyarakat Madani). Dalihan Natolu, didirikan berdasarkan kesetaraan, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, dan bertang gung jawab sesuai dengan fungsi kelompoknya masing-masing.
*.Silsilah
yang sudah baku
dikalangan Batak Toba, menunjukkan , bahwa pada umumnya, marga-marga, muncul pada generasi ke-5 (kecuali:
Limbong, Sagala dan Malau),hal ini
berarti, bahwa marga, dimulai pada tingkat/generasi kakek (Ompung) dari Raja
Manghuntal (Raja Sisingamangaraja I). Yang menjadi pertanyaan, adalah: Siapakah
yang lebih dahulu menggunakan marga itu; apakah si Ompung yang bikin marganya
sendiri, ataukah si Cucu (Pahompu)
yang memakai nama ompungnya menjadi marganya/memargakan nama
ompung; yang jelas, tentulah lebih
dahulu ada marga sebelum adat, karena adat Dalihan Natolu, adalah adatnya orang
bermarga.
2.3. Landasan dan Tujuan Adat Dalihan Natolu
Diatas telah dibicarakan tentang sistim kekerabatan/ kekeluargaan masyarakat Batak Toba, yang disebut sebagai masyarakat Dalihan Natolu; maka, Aturan/ Tatanan hidup yang menjadi adat dari Masyarakat Batak itu pun, disebutlah Adat Dalihan Natolu.Pada persidangan para pemuka masyarakat (Ompu Raja Ijolo) di Bakkara, sekitar akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16, di rumuskanlah pandangan hidup yang menjadi sumber hukum terhadap aturan-aturan selanjutnya, yang dalam bahasa Batak disebut Ruhut ni Adat. Pandangan hidup tersebut, dituangkan dalam Pantun (umpasa) berikut :
Ompu Raja Ijolo, martungkot sialagundi.
Adat na pinungka ni parjolo,
ido ihutihuton ni na dipudi.
Uhum do na taihuthon, adat na
taula.
Elek marboru, somba
marhulahula.
Manat mardongan tubu, burju
mardongan sahuta.
Asa tu Sanggar Amporik, tu
ruang ia Satua.
Anggiat sinur na pinahan, gabe
na ni ula.
Horas ma antong jolma.
Yang dapat diartikan sebagai
berikut :
*. Kami para pemuka masyarakat, berpegang pada kebaikan /demi
kebaikan). Aturan hidup yang dibuat para pendahulu, itulah yang menjadi pedoman
bagi generasi penerus.
*. Tunduk pada hukum, adat dilaksanakan. Sayangi Boru, hormati
Hulahula; Pelihara/jagalah hubungan baik terhadap sesama saudara maupun dengan
tetangga.
*. Supaya jauhlah bencana, maka manusia pun selamat sejahtera.
Di bait pertama ungkapan tersebut
diatas, terdapat pandangan hidup (philosophy) yaitu pada kalimat yang berbunyi: martungkot sialagundi, yang berarti: demi kebaikan /berdasarkan
kebaikan; Jadi, kebaikan itulah yang menjadi landasan cita-cita (Landasan Idiel) nya adat Batak. Dalam
pandangan Ompu Raja Ijolo, aturan hidup yang menjadi cikal bakal adat itu,
adalah Etika/Tatakrama pergaulan dalam bermasyarakat, didasarkan pada
kepatutan/kepantasan (bentuk Performance), tidak didasarkan pada
benar atau salah. Pandangan tersebut dituangkan dalam Pantun (umpasa) berikut:
Sihingkit sinalenggam, tapillit
nadumenggan.
Yang
berarti : Pilih yang terbaik.
Dibait kedua, terdapat prinsip
kewajiban, yang menjadi landasan Hukum (Landasan
Konstitusional), yaitu pada kalimat yang berbunyi tunduk tu pamarenta sitiop uhum parpatihan, asa elek marboru, somba marhulahula, manat
mardongan tubu jala burju mardongan
sahuta. Dibait
ketiga, terdapat tujuan bersama,
yaitu pada kalimat yang berbunyi :
Asa tu sanggar Amporik, tu
ruang ia Satua.
Anggiat sinur na pinahan, gabe na
ni ula.
Horas ma antong jolma.
Menurut keyakinan ompu Raja
Ijolo, barang siapa yang melakukan adat sesuai dengan aturan yang ditetapkan,
akan menerima berkat dari Tuhan sang pencipta. Selanjutnya, diatas pandangan
hidup tersebut, ditetapkanlah beberapa ketentuan yang berkaitan dengan
pelaksanaan adat, termasuk aturan peralihan yang dituangkan dalam pantun (umpasa) berikut ini :
Mumpat talutuk, sesa gadugadu.
Muba do adat naburuk, dung ro
adat na imbaru.
Yang berarti, bahwa aturan yang
menjadi adat itu, dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman. (Bandingkan dengan amandemen).
Dalam mensosialisasikan aturan
yang cikal bakal adat-istiadat itu, Raja Sisigamangaraja, selaku Sirajai jolma
(Kepala pemerintahan) bertindak
sebagai pemangku adat/penegak hukum, dan untuk mambantu Raja dalam melaksanakan
tugasnya, ditunjuklah seorang pembantunya di setiap Desa /Kampung, yang disebut
Tanduk ni Raja atau Tunggane huta. Seiring dengan
berjalannya waktu, maka aturan yang menjadi adat istiadat itupun bertumbuh dan
berjalan setahap demi setahap, mulai dari masa pemerintahan Raja
Sisingamangaraja I sampai dengan masa pemerintahan Raja Sisingamangaraja
IX.
Pada masa pemerintahan Raja
Sisingamangaraja X, timbul peperangan melawan Tuanku Rao, yang diutus oleh
Tuanku Imam Bonjol dalam rangka meng islamkan Toba (Porang Monjo), dan pada masa pemerintahan Raja Sisingamangaraja XII,
timbul pula peperangan melawan penjajahan Belanda, (Porang kemerdekaan), maka sejak itu, adat menjadi kurang mendapat
perhatian dari Raja (terabaikan).
Masa pembentukan dan pembenahan
adat Dalihan Natolu
itu, boleh dibilang relatif singkat, namun demikian, agaknya sudah
sempat berakar ditengah-tengah masyarakat Batak Toba, bahkan sudah mendapat
perhatian para antropolog Barat.
Berdasarkan
data kepustakaan, ternyata ada antropolog Barat yang menyatakan : bahwa,
berdasarkan Adat Dalihan Natolu, ada tiga keistimewaan orang Batak, yaitu :
1. Semua orang Batak menjadi berfamili. (martutur
martondong)
2. Perkawinan dianggap sah, bila diresmikan
secara adat.
3. Silsilah, merupakan warisan suci yang
membentuk satu rangkaian ikatan keluarga.
0 Response to "2. Latar Belakang Adat Dalihan Natolu"
Post a Comment