5. Sianjurmulamula

Sebagaimana telah disampaikan diatas, bahwa sebelum Sorimangaraja Batak II mati terbunuh, dia sempat mengalihkan kekuasaannya kepada Raja Malim Mutiaraja.

Setelah kerajaan Batak Barus jatuh ketangan musuhnya, di dalam situasi yang serba semeraut, Mutiaraja menyuruh si Raja Batak keponakannya itu (Bere), agar melarikan diri kesuatu tempat yang ditunjukkanya; diberikannya seruas bambu yang berisikan dua gulungan surat (Dokumen), terdiri dari Pustaka Tombaga Holing yang berisikan ilmu kemiliteran dan Pustaka Surat Agong yang berisikan ilmu Tata Negara; serta dipesankannya kepada si Raja Batak, katanya : Jangan katakan kepada siapapun, bahwa kamu itu adalah keturunan dari Raja Barus, sebab semua keturunan Raja yang kalah perang akan dibunuh; jika ada orang yang mempertanyakan tentang dirimu, katakanlah bahwa kamu itu turun dari langit, sebab di istanalah seharusnya tempatmu berkedudukan, akan tetapi engkau telah jatuh dari kedudukanmu yang tinggi itu menjadi rendah bahkan menjadi orang pelarian; dan lagi, bila waktunya sudah tiba kelak, pecahkanlah bambu yang seruas ini dan wariskanlah kedua gulungan surat yang di dalamnya itu kepada anak-anakmu, demikianlah di pesankannya kepada si Raja Batak.

Dikemudian hari, para pencerita membuat pesan itu menjadi cerita mitos, maka muncullah mitologi si Raja Batak turun dari langit didalam seruas bambu. (Madekdek sian langit, mapultak sian bulu). Menurut keterangan orang-orang pintar, pada waktu itu, si Raja Batak sudah meningkat dewasa; berumur sekitar sembilan belas tahun dan belum beristri.

Selanjutnya, berangkatlah si Raja Batak menuju tempat yang dimaksudkan oleh Mutiaraja pamannya itu; susah payahnya diperjalanan naik gunung turun lembah, tidak dihitung-hitung lagi berapa hari sudah berlalu.

Di suatu hari, dalam kondisi capek kelelahan, istrirahatlah dia di suatu tempat, lalu duduk diatas sebongkah batu dasar (batu ceper) yang dinamakannya batu peristirahatan (Batu Pangulonan), akan tetapi dikemudian hari, dinamakan oranglah itu Batu Hobol, ada juga yang menyebutnya Batu Hobon. Setelah tenaganya pulih kembali, dilanjutkanlah perjalanannya; rasa capek dan terik matahari membuatnya kehausan; namun perjalanan harus tetap diteruskan, berjalan dan berjalan, menahankan capek dan kehausan; tak disangka dan tak dinyana, ditemukannya sebuah umbul air, lalu minumlah dia melepas dahaga, maka dinamakannyalah umbul air itu Aek sipaulak hosa loja, yang berarti umbul air pemulih tenaga. Setelah minum sepuasnya, diteruskan lagi perjalanan, hingga pada waktu hari mulai senja, sampailah dia di tempat yang dituju, yaitu sebuah gua batu yang di pesankan oleh pamannya Mutiaraja gelar Raja Malim/Raja Uti I, kemudian, dinamakannyalah gua itu Liang Raja Uti. (Liang = Gua)

Demikianlah agaknya kebiasaan orang zaman dahulu kala, kalau mau berdoa (Martonggo) kepada Tuhan Sang Pencipta, haruslah di puncak gunung, karena menurut pikirnya, lebih dekatlah dari sana berseru kepada Sang Pencipta Ompu Mulajadi Nabolon, yang bermukim di benua atas, dilangit yang ketujuh, maka pada hari-hari berikutnya, si Raja Batak merencanakan naik ke puncak gunung yang ada di dekat sana, untuk menyampaikan doa permohonannya. Pada hari yang ditentukan, di ambilnya seekor ikan besar, yaitu Ihan Batak/Dengke layan (sejenis ikan jurung), dimasaknya dan di bawah naik ke puncak untuk dipersembahkan sebagai sajian khusus, pengalas permohonan; kemudian, dinamakannya tempat itu Pusuk Buhit, yang berarti; puncak bukit.

(Batu pangulonan, Aek sipaulak hosa loja, Gua Raja Uti, maupun Pusuk Buhit, terletak di daerah Kabupaten Samosir sekarang)

Konon menurut berita, selang beberapa waktu setelah jatuhnya Barus, Mutiaraja gelar Raja Malim/Raja Uti I, diam-diam dalam rahasia, dia bersama puterinya, datang dari Barus ke Toba mencari si Raja Batak keponakanya itu; mereka berjumpa dan bermalam di Gua Batu/Liang Raja Uti selama dua malam. Dalam pertemuannya itu, Mutiaraja gelar Raja Malim/Raja Uti I, mengamanahkan kepada si Raja Batak untuk mempersiapkan berdirinya kembali kerajaan Batak.

Selanjutnya pada hari yang ketiga, Mutiaraja hendak pulang; si Raja Batak, tidak dapat menahan; walau dengan berat hati, terpaksa melepas sang paman; ikut juga dia berjalan, sekedar mengantarkan. Tiba di suatu tempat, yang terletak di atas bukit, merekapun berangkulan seraya bartangis-tangisan menandakan perpisahan, lalu berjalan pulang menuju tempat masing-masing. Dikemudian hari, bukit itu pun di namakan oranglah Dolok Partangisan, yang dapat diartikan sebagai Bukit Ratapan.

Bukit Ratapan

Subscribe to receive free email updates:

Sponsor

loading...