3. Kerajaan Batak, Barus

Setahun kemudian setelah jatuhnya kerajaan Batak Tua (Batahan), yaitu sekitar tahun 1030, berbarengan dengan munculnya kerajaan-kerajaan baru, pecahan dari kerajaan Batak Tua dahulu, Raja Malim (Pimpinan Agama Malim) dari Gunung Tua, menobatkan menantunya menjadi Raja, Si Rajai Jolma (Kepala Pemerintahan), berkedudukan di Barus. Untuk menunjukkan bahwa dialah yang mula-mula/pertama menjadi Raja di kerajaan Batak Barus, maka dinamakanlah dia Raja Mula. Pada waktunya, Raja Mula digantikan oleh anaknya, yaitu Raja Donia, kemudian Raja Donia digantikan oleh anaknya yaitu Raja Sorimangaraja Batak I (Sorimangaraja = Sri Maharaja). Sepeninggal Sori Mangaraja Batak I, naik tahtalah anaknya yang kedua bernama Nasiak dibanua; kemudian, Raja Nasiak dibanua digantikan oleh anaknya, bergelar Sorimangaraja Batak II.

Dari permulaannya sudah demikian, raja-raja Batak Barus selalu mengambil istri dari keluarga Raja Malim; kebiasaan ini dipandang perlu di pertahankan, demi menjaga keserasian pemerintahan (Konstelasi politik); Sorimangaraja Batak II pun, memperistrikan putri Raja Malim juga, yang melahirkan lima putra baginya; Putra sulung bernama Siraja Bahar, kedua bernama Sinambeuk, ketiga si Pakpak, keempat bernama Jonggolnitano dan yang kelima Raja Mangisori yang juga disebut Nagaisori.

Dari kelima orang putra Sorimangaraja Batak II, sebagaimana yang disebutkan diatas, hanya Sinambeuk yang mengambil istri dari keluarga Raja Malim, yaitu saudara perempuan dari Raja Malim Mutiaraja. Dari perkawinannya itu, Sinambeuk memperoleh putra yang dinamakan Si Raja Batak; Dia inilah yang kelak dikemudian hari mendirikan perkampungan Sianjur mula-mula di tanah Toba.


Pada masa pemerintahan Sorimangaraja Batak II, datanglah orang Melayu Pagarruyung menyerbu Negeri Batak Barus; mereka dibantu oleh para saudagar Islam yang datang dari Gujarat, pertempuran pun terjadilah, banyak orang mati terbunuh. Melihat situasi yang tidak menguntungkan itu, Sorimangaraja Batak II agaknya sudah dapat memperhitungkan, bahwa dia akan kalah perang maka pada suatu kesempatan, dialihkannyalah kekuasaan pemerintahannya kepada Raja Malim Mutiaraja keponakannya itu (paraman), dengan perjanjian , bahwa kelak dikemudian hari, kalau situasi sudah memungkinkan, kerajaan itu harus dikembalikan kepada ahli waris. Mereka mengikat perjanjinan itu dengan suatu tanda barang pusaka, yang mereka namakan Tabutabu sitara pullang, ia sian i dalanna ro, ingkon tusi do dalanna sumuang, yang berarti; Dari mana datangnya, harus kesitu juga kembalinya.


Sejak peristiwa pengalihan kekuasaan itu, Mutiaraja memegang dua tampuk kepemimpinan, yaitu ; selaku pimpinan agama disebut Raja Malim dan selaku Kepala Pemerintahan (Sirajai Jolma), disebut Raja Uti.

Pada awalnya, gelaran Kepala Pemerintahan itu disebut Raja Unte (baca; Utte), hal ini berkaitan dengan kebiasaan Mutiaraja selaku pimpinan agama (Raja Malim), selalu mempergunakan Jeruk Purut (Unte Pangir) didalam upacara-upacara keagamaan. Disebut juga Mutiaraja itu dengan sebutan Raja Mangalambung, yang arti harfiahnya, menyamping/dari samping, karena dia bukan dari ahli waris. Seirama dengan penggelaran itu, dikemudian hari, muncullah kebiasaan sesajenan yang membedakan pimpinan agama dengan Kepala Pemerintahan; Jika seseorang ingin berhubungan dengan pimpinan agama (Raja Malim), maka sesajenannya adalah kambing warna hitam (hambing silintom).

Perkiraan Sorimangaraja Batak II, tentang perang itu menunjukkan kebenarannya; Dia bersama anaknya Sinambeuk, mati terbunuh dalam perang.

Pada zaman itu, sudah menjadi kebiasaan, bahwa semua keturunan raja yang kalah perang, harus di bunuh, agar tidak muncul kerajaan baru yang akan membalas dendam; maka demi keselamatan, setelah Sorimangaraja Batak II mati terbunuh, melarikan dirilah para keluarga Raja selagi ada kesempatan.

Konon kabarnya, setelah beberapa generasi kemudian, terbetiklah berita, bahwa:


  • Keturunan Si Raja Bahar telah bermukim di Desa Garo (Garo = Pisang) yang kemudian berubah sebutan menjadi Karo.
  • Keturunan Si Raja Batak, anak dari Sinambeuk, bermukim di Toba.
  • Keturunan Si Raja Pakpak, bermukim di Dairi (Dai Ri).
  • Keturunan Jonggol ni Tano yang memperanakkan Raja Pandudu dan Raja Mante (Mantela), bermukim di Aceh Pidie (Perlu di teliti lagi, apakah Pidie, berasal dari kata Pudi?).
  • Keturunan Nagaisori (Raja Mangisori), bermukim di Daerah Singkil dan Tapak Tuan.
Selanjutnya, perkembangan agama Islam di Barus sangatlah pesatnya, terlebih lagi setelah penguasa Barus masuk memeluk agam itu. Orang Batak yang pertama masuk agama Islam di Barus adalah seorang guru pencak silat, bernama Guru Marsangkot; setelah dia, banyaklah orang Batak masuk memeluk agama Islam di Barus. Tak lama setelah penaklukan Negeri Barus, bersepakatlah penguasa negeri itu dengan para saudagar Islam, untuk mendirikan negeri baru berbasis Islam yang mereka namakan Negeri Fansur, orang Batak menyebutnya Pansur. (baca: paccur).


Huta Barus


Pantai di Barus



Subscribe to receive free email updates:

Sponsor

loading...